Babul Ihsan : Warisan Iman dari K. Tamin hingga K. Idris


Di sebuah kampung sederhana, sekitar tahun 1980-an, lahirlah sebuah tempat ibadah kecil yang kelak dikenal dengan nama Musholla Babul Ihsan. Ceritanya berawal dari seorang tokoh kampung bernama Kiai Tamin, seorang pria yang penuh semangat dalam mengabdikan hidupnya untuk agama.


Pada masa itu, hidup K. Tamin tidak selalu mudah. Setelah berpisah dengan istri pertamanya, ia mencoba bangkit dengan membeli sebidang tanah. Di atas tanah itu, ia tidak hanya mendirikan rumah untuk keluarganya, tetapi juga sebuah musholla. Bangunan musholla tersebut berdiri dengan segala keterbatasan. Dindingnya seadanya, lantainya sederhana, atapnya pun masih jauh dari kata sempurna. Namun, semangat dan keikhlasan masyarakat sekitar menjadikan musholla itu memiliki “nyawa” yang hidup. Musholla ini lahir dari kebersamaan, dari gotong royong, dari harapan akan hadirnya sebuah tempat suci yang bisa menjadi pusat ibadah dan pengajian anak-anak desa.


Tidak lama kemudian, K. Tamin menikah dengan Nyi Kholifah. Dari pernikahan itu, Allah menganugerahkan tiga orang anak:


1. Nyi Suadeh


2. Kiai A’la


3. Kiai A’dam



Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Ketika melahirkan anak ketiga, Nyi Kholifah dipanggil Allah SWT. Kesedihan menyelimuti keluarga. Seorang suami kehilangan istri, tiga anak kehilangan kasih sayang seorang ibu. Tetapi dari ujian itu pula lahirlah ketabahan dan kekuatan baru dalam keluarga K. Tamin.


Beberapa waktu kemudian, K. Tamin kembali menikah dengan Nyi Rahwiyeh dan dari pernikahan tersebut lahirlah seorang anak. Rumah sederhana itu kembali diisi dengan kehidupan, dan musholla kecil di sampingnya tetap menjadi saksi bisu perjalanan keluarga K. Tamin.


Memasuki tahun 1990-an, K. Tamin berpulang ke Rahmatullah. Setelah kepergiannya, kepengasuhan musholla dilanjutkan oleh Kiai A’la, anak kedua dari Nyi Kholifah. Di tangan beliau, musholla terus dijaga. Seiring berjalannya waktu, musholla mendapatkan bantuan dari masyarakat maupun pihak lain. Maka, sebagai bentuk syukur, K. A’la memberi nama musholla itu “Babul Ihsan” yang berarti Pintu Kebaikan. Nama ini mencerminkan doa besar agar dari musholla itu, segala kebaikan mengalir tanpa henti bagi siapa saja yang datang beribadah.


Musholla Babul Ihsan bukan hanya tempat shalat berjamaah, melainkan juga pusat kegiatan masyarakat: tempat anak-anak mengaji, tempat warga berkumpul, tempat doa-doa dipanjatkan, dan tempat hati-hati yang letih menemukan ketenangan.


Namun, perjalanan tidak berhenti di situ. Pada tahun 2011, Kiai A’la juga wafat. Kepergian beliau meninggalkan duka mendalam bagi jamaah. Tongkat estafet kepengasuhan kemudian diserahkan kepada K. Idris, menantu pertama K. A’la.



Saat itu, K. Idris masih berada di pondok pesantren dan belum diperbolehkan boyong. Kondisi ini tentu bukan hal mudah. Bagaimana mungkin ia mengasuh musholla sepenuhnya jika ia sendiri masih mondok? Namun, berkat niat yang tulus, K. Idris tetap berusaha menjalankan amanah.


Pengajian di musholla pun diatur secara bergantian. Malam Sabtu, Minggu, dan Senin diisi langsung oleh K. Idris, sedangkan malam Selasa, Rabu, dan Kamis diampu oleh K. Romli. Sistem bergantian ini berlangsung sekitar satu tahun, hingga akhirnya K. Idris benar-benar bisa mengemban amanah penuh sebagai pengasuh Musholla Babul Ihsan.


Sejak saat itu, kegiatan musholla semakin semarak. Babul Ihsan benar-benar hidup di tengah masyarakat. Di antara kegiatan yang rutin digelar adalah:


Ngaji Yasin bersama setiap tanggal 15 Sya’ban, yang menjadi momen kebersamaan dan doa bagi leluhur.


Shalat Tarawih dan tadarus Al-Qur’an selama bulan Ramadhan, di mana malam-malam musholla dipenuhi cahaya bacaan suci.


Shalat Idul Fitri dan Idul Adha, yang pada awalnya hanya Idul Fitri saja, namun sejak masa kepengasuhan K. Idris, masyarakat sepakat untuk juga melaksanakan shalat Idul Adha di musholla.



Kegiatan-kegiatan ini bukan hanya ritual, melainkan bukti nyata bahwa musholla benar-benar menjadi pusat kehidupan spiritual masyarakat. Pemuda-pemuda dan alumni Musholla Babul Ihsan pun senantiasa ikut serta, menjadi tenaga, semangat, sekaligus harapan untuk keberlangsungan musholla di masa depan.



Namun, perjalanan dakwah tidak selalu mulus. Menurut K. Idris, salah satu tantangan terbesar dalam mengajar adalah kurangnya dukungan dari sebagian orang tua. Ada kalanya ketika anak-anak enggan mengaji, orang tua hanya membiarkan. Atau ketika ada acara keluarga, anak-anak tidak hadir mengaji, dan hal itu pun dianggap biasa. Sikap seperti ini membuat perjuangan mendidik anak-anak menjadi lebih berat.


Meski demikian, semangat tidak pernah padam. Musholla Babul Ihsan tetap berdiri, tetap hidup, tetap menjadi saksi doa dan perjuangan.


K. Idris menyimpan sebuah harapan besar: “Semoga ke depan, Musholla Babul Ihsan semakin ramai, semakin banyak jamaah yang hadir, semakin besar dukungan masyarakat dan wali murid. Semoga musholla ini benar-benar menjadi pintu kebaikan, tempat lahirnya generasi Qur’ani, dan tempat setiap hati menemukan cahaya iman.”



Musholla Babul Ihsan bukan sekadar bangunan. Ia adalah warisan, jejak perjuangan, dan bukti cinta generasi terdahulu kepada Allah. Dari K. Tamin yang mendirikannya dengan segala keterbatasan, dari K. A’la yang memberi nama dan merawatnya, hingga K. Idris yang terus melanjutkan amanah meski penuh tantangan  musholla ini menjadi simbol keteguhan, pengorbanan, dan harapan.


Disusun Oleh siswi Kelas VIII, MTS Mambaul Ulum, Kelompok Lely, Irza, Yati, dan Tia


Editor : Redaksi Y4smu.pro

Lebih baru Lebih lama

Popular