
PAMEKASAN – Rabu siang (13/8/2025), Kantor Bea Cukai Madura berubah jadi panggung teater rakyat. Ribuan massa dari Gerakan Masyarakat Peduli Madura (GMPM), dipimpin Didik Haryanto dan kawan-kawan dari LSM Barisan Investigasi dan Informasi Keadilan (BIDIK), datang bukan untuk berwisata, tapi untuk menagih janji yang sudah lama basi.
Mereka membawa spanduk-spanduk yang bahasanya tak perlu diperhalus lagi. “Bea Cukai di Depan Jadi Pahlawan, di Belakang Jadi Menerima Uang”, “Bea Cukai Lembaga Mencari Uang Para Koruptor”, dan “Jangan Jadikan Jabatan Sebagai Alat Memperkaya Diri”.
Kalimat-kalimat itu terdengar kasar, kecuali bagi orang yang sudah lama melihat realitasnya.
Empat tuntutan pun dibacakan: tegakkan aturan tanpa pandang bulu, reformasi birokrasi Bea Cukai Madura, tutup dan sita alat produksi perusahaan rokok nakal, dan beri sanksi hukum tegas bagi mereka yang melanggar. Didik Haryanto bahkan menyentil kasus di Sampang yang “entah kenapa” penindakannya masih seperti menunggu lampu hijau dari langit. “Kalau kurang bukti, saya siapkan,” ujarnya sebuah kalimat yang setara dengan mengatakan, “Jangan pura-pura tidak tahu.”
Menanggapi itu, Novian Dermawan, Kepala Bea Cukai Madura, mencoba meredam. Ia bilang reformasi sudah berjalan, bahkan beberapa kepala seksi sudah diganti. Tentu saja, publik berharap pergantian itu bukan sekadar memindahkan kursi panas dari satu ‘teman’ ke ‘teman’ lain.
“Mari kita kontrol bersama,” kata Novian. Baiklah, rakyat akan mengontrol asal pintu masuknya tidak dipagari birokrasi tebal.
Ironisnya, slogan Bea Cukai selama ini berbicara soal “melayani dan melindungi masyarakat”. Tapi di mata sebagian rakyat Madura, pelayanan itu terasa seperti tiket VIP: hanya berlaku bagi yang tahu jalur belakang.
Reformasi yang dijanjikan Novian mungkin benar sedang berjalan. Tapi jangan-jangan jalannya seperti kereta api Madura: lambat, banyak berhenti, dan kadang malah balik lagi ke stasiun awal.
Madura sudah kenyang makan janji, tapi belum pernah kenyang makan keadilan. Dan hari ini, ribuan orang datang bukan untuk menonton drama, tapi untuk memastikan pahlawan pura-pura di depan tak lagi diam-diam menjadi kasir ilegal di belakang.